karyamu
Jalan Setapak
Langkahnya gontai menyusuri jalan setapak. Kaki dan tangannya lemah lunglai tanpa tenaga. Hembusan nafasnya pun tersendat-sendat tak teratur. Tapi sorot matanya selalu siap melihat sekeliling kalau-kalau ada sesuatu yang dapat ditangkap.
Semangat yang mengakar di dalam dirinya membuatnya terus melangkah tanpa lelah. Tak sebilah bahaya pun mampu menghentikan gerak langkahnya. Bahkan lolongan anjing hutan pun tak dapat menyurutkan niatnya, kecuali suara dalam isi perutnya yang memaksanya untuk berhenti sejenak mencari sedikit makanan.
“Teman-teman, kita berhenti sebentar.” Perintah Tegar kepada kawan-kawannya.
Tegar memang tidak sendiri ia bersama keempat orang kawannya. Mereka adalah Ardi, Dani, Lukman, dan Anwar. Mereka selalu bersama-sama dalam keadaan apapun jua. Mereka juga akan saling membantu dengan sepenuh jiwa jika ada salah satu di antara mereka sedang mengalami kesulitan.
“Gar, ini buat kamu. Teman-teman yang lain udah makan semua tinggal kamu yang belum. Aku lihat kamu udah lapar banget.” Kata Dani sambil menyodorkan buah mangga yang kelihatannya enak sekali.
Tegar yang sejak tadi tersungkur tanpa tenaga kini seolah mendapat energi baru begitu melihat mangga yang berwarna kuning merekah. Aromanya yang menggoda merangsang mulut agar menelannya bulat-bulat.
Tanpa basa-basi Tegar langsung menyerobot mangga tersebut. Dimakannya mangga itu dengan lahapnya. Rasa lapar yang dari tadi mendera perutnya kini terobati sudah.
“Makasih banget ya atas makanannya. Sekarang aku udah kenyang. Ayo kita lanjutkan perjalanan kita..!!”
“Ayo…!!!”
“Tungu dulu! Kita mau kemana lagi?” Tanya Anwar.
Kelimanya menghentikan langkah berpikir sejenak untuk memilih jalan manakah yang akan mereka tempuh. Di hadapan mereka terdapat tiga cabang jalan yang mereka sendiri belum pernah menginjakkan kaki atau melewati jalan tersebut. Sungguh pilihan yang sulit, karena sudah 3 jam mereka menyisir isi hutan dan hingga saat ini baru sedikit yang mereka bawa. Jika mereka melanjutkan perjalanan kemungkinan besar mereka akan tersesat.
Dalam perburuan tersebut kelima bocah remaja itu hanya berbekal ketapel dan sebilah pisau yang terselip pada pinggang mereka masing-masing. Walaupun alat yang mereka gunakan masih sederhana, namun mereka tetap gigih untuk terus mencari mangsa dan siap menangkapnya.
Hari itu memang cerah. Matahari bersinar dengan gagahnya. Tapi sinarnya tertahan oleh lebatnya daun-daun pepohonan. Hanya beberapa percik sinar saja yang mampu menembus sampai ke permukaan bumi. Hamparan hijau pepohonan yang amat luas menutupi isi hutan, mencekal pandangan setiap makhluk yang berada di dalamnya.
“Aku bingung mau lewat jalan yang mana. Ada yang punya ide?”
“Bagaimana kalau kita lewat jalan yang ini saja.” Ardi mengungkapkan pendapatnya.
“Kamu yakin Ar??” Tanya Lukman kurang yakin.
“Ya kita coba aja. Barangkali di dalam sana ada banyak binatang buruan yang dapat kita tangkap.”
“Terus gimana kalo kita tersesat?!”
“Ah kamu… Bilang aja kalo kamu takut!! Kamu kan bisa nungguin kami di sini.”
“Siapa juga yang takut. Aku cuma memastikan keselamatan kita aja.”
“Huh…. Dasar penakut!”
“Kamu tuh yang sok tahu!!”
“Sudah-sudah jangan ribut, kita ikuti aja apa kata pak ketua.” Sela Dani melerai perdebatan Ardi dan Lukman.
“Ya udah teman-teman kita coba telusuri jalan setapak ini..!!”
Tegar berjalan paling depan diikuti keempat kawannya. Dialah yang menjadi pemimpin dalam kelompok itu, sehingga apapun yang akan dilakukan dia yang memutuskannya, dan yang lain berhak mengungkapkan pendapat mereka.
Kelihatannya mereka telah jauh melangkah menembus rimbunnya semak belukar, menyusuri hutan yang amat lebat. Tapi hingga kini tak seekor buruan pun yang menampakkan diri, seolah mereka tahu bahwa kelima remaja tersebut sedang mengincar mereka. Sambil sesekali melihat ke atas pohon, kelompok remaja tersebut terus berjalan mengikuti jalan yang sebetulnya mereka sendiri tidak tahu di mana ujung jalan tersebut.
“Lihat di atas sana!”
Anwar menunjuk ke atas salah satu pohon yang sangat besar. Di sana bertengger dua ekor burung merpati. Jaraknya cukup jauh dari permukaan tanah. Butuh konsentrasi penuh untuk membidiknya agar tepat sasaran.
Kali ini Dani yang ambil posisi dan siap membidik. Diambilnya sebuah batu kerikil, lalu dipasangkannya pada ketapel. Ya, walaupun alatnya masih sederhana dia tetap yakin bahwa sasarannya kali ini pasti tidak akan meleset. Di antara kelima anak tersebut Danilah yang selama ini jarang sekali meleset dalam membidik mangsanya.
“Gimana Dan kena nggak??”
“Meleset… Aku coba satu kali lagi.”
“Biasanya kan kamu nggak pernah meleset.”
“Ya nih mungkin sasarannya terlalu jauh.”
Dani mengambil sebuah kerikil lagi. Pandangannya tidak pernah lepas dari kedua merpati yang dari tadi tetap pada posisi yang sama. Sepertinya mereka sedang menikmati suasana, tak menghiraukan apa pun yang ada di sekitarnya, walau nyawa mereka sedang terancam.
“Kena….. Tuh kan tidak meleset lagi bidikanku!!”
“Tapi kan baru satu, yang satunya lagi belum kena.” Protes Anwar.
“Tenang aja, yang satunya biar aku yang menangani.” Ardi mengajukan diri.
“Emang kamu bisa??”
“Lihat aja ntar..!”
Cepat-cepat Ardi mendekati burung merpati yang sedang kesepian karena telah ditinggal kekasihnya. Seketika itu juga Ardi langsung melayangkan peluru kerikilnya sebelum sasarannya itu kabur.
“Tuh lihat, kena kan.”
“Ya…ya…baru dapat satu aja udah bangga…”
“Biarin daripada nggak dapat sama sekali.”
“Sudah… yang penting kan kita dapat tambahan 2 ekor merpati.”
Ardi dan Lukman memang sering berselisih. Tapi biar pun begitu mereka tetap dapat menahan diri. Tidak pernah sampai ada perkelahian di antara mereka. Dan keakraban pun senantiasa terjalin.
Perjalanan pun dilanjutkan kembali. Kali ini suasana begitu sunyi, sepi, tak ada satupun suara kicau burung yang menyelimutinya. Lebatnya daun dan semak belukar menambah suasana semakin mencekam. Tak ada bekas telapak kaki binatang, yang ada hanyalah kegelapan yang mengerikan. Lolongan anjing dari kejauhan mencengkeram jiwa dan membalutnya dalam ketakutan.
Sepertinya mereka telah berada di jantung hutan. Di sana terdapat sebongkah batu yang bisa digunakan sebagai tempat duduk. Mungkin batu itu pernah digunakan oleh seorang pertapa untuk melakukan semedi.
“Ahh…..tolong…..!!”
“Ardi…!!!”
“Tolong…tolong…”
“Ya, kami akan menolongmu..!!”
Teman-teman Ardi bingung, bagaimana caranya mereka menolong Ardi. Mereka takut, tidak berani manghadapi bahaya tersebut. Namun apa pun yang terjadi mereka tetap akan menolong Ardi, karena Ardi adalah bagian dari mereka. Seberapa besar pun bahaya itu mereka memberanikan diri untuk menghadapinya. Rasa takut mereka buang jauh-jauh demi menyelamatkan sahabat mereka sendiri.
Memang, dari tadi Ardi berada di barisan paling belakang. Tiba-tiba dia kejatuhan sesuatu. Ia kejatuhan ular piton. Betapa mengerikannya ular itu, walaupun ia tak berbisa. Ukurannya amat besar. Panjangnya kira-kira mencapai 3,5 meter.
Kini ular itu telah melilit sekujur tubuh Ardi, hingga ia tergeletak tak sadarkan diri. Lilitan ular piton itu semakin menguat, meremukkan seluruh otot, urat nadi bahkan aliran darahnya sempat tersendat beberapa saat. Teman-temannya sudah membantu dengan sekuat tenaga. Ada yang memukulkan kayu ke kepala ular, ada pula yang berusaha melepaskan lillitan ular dari tubuh Ardi.
Tegar yang sedang mencari bantuan kini telah kembali. Tapi ia kembali dengan tangan hampa.
“Gimana Gar, kamu udah dapat bantuan??”
Tegar menggelengkan kepala.
“Di sini tidak ada orang. Aku udah berteriak ke sana kemari mencari bantuan, tetapi tidak ada yang menyahut.”
“Terus kita harus bagaimana? Padahal Ardi harus segera kita tolong. Nyawanya sedang terancam.”
“Ehm…aku ada ide.”
Kemudian Tegar mengambil seekor burung yang telah diburunya. Ia dekatkan burung itu ke depan mata si ular. Dengan mengeluarkan segenap keberaniannya, ia menggantung-gantungkan burung itu di depan mata si ular. Secepat kilat sang ular menyambar burung itu dan menelannya bulat-bulat. Burung malang itu bergerak melewati kerongkongan sang ular dan akhirnya memenuhi isi perutnya.
“Sekarang ular itu sudah kenyang. Pasti Ardi akan segera dilepaskannya.” Bisik Tegar kepada kawan-kawannya.
Setelah ditunggu beberapa saat, ular itu tetap tidak mau melepaskan Ardi. Ardi tetap dalam genggamannya, walaupun ia sudah kenyang. Padahal ular piton makannya kurang lebih seminggu sekali. Mungkin ada maksud lain kenapa dia tetap tidak mau melepaskan Ardi. Ya, walaupun lilitannya sudah agak melemah, tapi dia belum mau meninggalkan tubuh Ardi yang hingga saat ini belum sadarkan diri.
Tiba-tiba seberkas cahaya datang menerangi suasana yang sudah cukup gelap itu. Seonggok tubuh yang gagah, terbalut pakaian usang datang membawa sebuah obor. Kedatangannya memecahkan suasana yang sangat mengenaskan itu.
“Pak, tolong teman kami. Tolong lepaskan ular itu dari tubuhnya..”
Orang itu mendekatkan obornya ke kepala ular piton itu. Perlahan-lahan sang ular melepaskan Ardi dari cengkeramannya. Ia pergi menjauh, hilang di antara semak-semak. Sementara itu, teman-teman Ardi menggoyang-goyangkan tubuh Ardi untuk menyadarkannya.
“Ardi, bangun…!!”
Perlahan-lahan mata Ardi mulai terbuka. Peredaran darahnya yang sempat tersendat kini mulai teratur kembali. Tenaganya pun kian memulih. Ia mencoba berdiri dan menatap kawan-kawannya.
“Mungkin ini salahku, karena aku telah menginjak telur ular itu hingga pecah. Mendadak ular itu menjatuhkan diri tepat di kepalaku. Maafin aku ya udah ngerepotin kalian dan makasih banget atas bantuannya.
“Ya, sama-sama. Sebagai sahabat sudah sepantasnya kita saling membantu.”
“Ya Ar, kamu nggak usah nyalahin dirimu sendiri.”
“Oh ya, makasih banget ya Pak atas bantuannya. Berkat bantuan Bapak teman kami dapat diselamatkan.”
“Berterima kasihlah kepada Allah SWT, karena atas seizin-Nya Bapak dapat membantu teman kalian.”
“Oh ya kalau boleh tahu siapa nama Bapak?”
“Panggil saja Pak Wongso.”
“Sekarang udah agak gelap, mendingan kalian ikut Bapak aja ke pondok. Nggak jauh kok dari sini.”
Sambil memapah Ardi yang lemah tak berdaya mereka berjalan mengikuti jejak kaki Pak Wongso. Ucapan syukur mereka panjatkan kehadirat Allah SWT yang telah mengirimkan malaikat penolong kepada mereka. Mereka meninggalkan jejak kengerian yang tidak akan pernah mereka lupakan seumur hidup mereka.
Sekian
sumber : http://remaja.suaramerdeka.com/2011/04/18/jalan-setapak/
Home »
» cerpen
cerpen
Penulis : tugas kuliah on Kamis, 21 April 2011 | 02.12
Related posts:
If you enjoyed this article just click here, or subscribe to receive more great content just like it.
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Posting Komentar