SMS Gratis SEpuasssssnya

SMS Gratis
News Update :
Home » » tugas sofskill

tugas sofskill

Penulis : tugas kuliah on Minggu, 06 November 2011 | 10.55

Nama : Yopi Atul Improh Atik
Kelas : 4EA06
NPM : 11208317


ADIL
Adil berdasarkan “egoisme pribadi”:
Pandangan seperti ini tentu saja menilai suatu tindakan atau perbuatan siapa pun, yang pasti selalu dikaitkan dengan keuntungan diri sendiri, seberapa besar keuntungan yang diperolehnya, itulah yang sangat berpengaruh pada makna adil di sini. Mereka dengan paham seperti ini punya kecenderungan tidak mau tahu orang lain, yang penting adalah keuntungan diri sendiri. Mereka tidak mempunyai “rasa empati” pada sesama, maunya menang sendiri. Dan, penganut paham ini pasti akan langsung berteriak bahwa “itu adil” jika dia mendapatkan keuntungan dari tindakan atau perbuatan itu. Sebaliknya, jika mereka tidak memperoleh keuntungan apa pun dari suatu perbuatan yang dilakukan oleh seseorang ataupun oleh suatu lembaga; maka mereka akan berkata bahwa itu tidak adil.

Adil berdasarkan “egoisme kelompok”:
Pandangan tentang adil seperti ini, hampir mirip dengan pandangan adil berdasarkan egoisme pribadi. Bedanya, penganut paham ini bisa sedikit berpandangan lebih luas mengenai keadilan, yaitu adil untuk kelompoknya sendiri. Jika dia merasa kelompoknya atau keluarganya memperoleh hasil-hasil bagus dari sesuatu, dari siapa pun, maka dia juga akan berseru bahwa itu memang adil. Tapi, jika kelompoknya tidak memperoleh hasil sesuai harapannya atau hanya sedikit mendapatkan bagian, maka pasti dia berteriak bahwa itu tidak adil. Paham adil berdasarkan egoisme kelompok ini sangat banyak dianut oleh sebagian besar orang di dalam negeri kita ini. Paham ini muncul, karena tentu adanya kesamaan pandangan diantara masing-masing pribadi yang terlibat, sehingga mereka kemudian bisa bersatu. Mereka yang masuk di dalam paham ini, juga memiliki “rasa empati”, tetapi empati ini hanya khusus ditujukan kepada orang-orang yang sepaham dengan dirinya, hanya sebatas empati di dalam kelompoknya.

Adil berdasarkan “kelayakan bagi orang lain”:
Inilah pandangan yang dipegang oleh orang-orang dengan idealisme tinggi dan penuh rasa peduli dengan sesama. Mereka dengan paham seperti ini akan selalu memperjuangkan “rasa keadilan” bagi sesama. Setiap perbuatan yang dilakukan oleh siapa pun, selalu dicermati dengan sudut pandang, seberapa jauh perbuatan itu bisa bermanfaat bagi banyak orang. Jika dirasa bahwa perbuatan itu benar-benar bisa membawa manfaat bagi banyak orang, maka itu sudah dianggapnya “adil”.Sebaliknya, meskipun tindakan itu bisa dirasakan oleh sekelompok orang sudah adil, tetapi menurut pemegang paham ini, hal itu masih dianggap “tidak adil”, karena tindakan tersebut hanya bermanfaat bagi sekelompok golongan kecil saja. Mereka yang mendukung paham ini, cenderung memiliki “rasa empati” sangat tinggi kepada orang lain yang “tidak mendapatkan keadilan”. Bahkan mereka cenderung lebih mengutamakan orang lain daripada dirinya sendiri.

Adil berdasarkan “kesamaan derajat”:
Menurut saya inilah sebagian besar “paham keadilan” yang banyak dipegang oleh orang. Mungkin juga Anda termasuk di dalamnya. Penganut paham ini, saya pikir memang bisa lebih bersikap adil, baik terhadap sesama orang, maupun terhadap dirinya sendiri. Ini bagi saya merupakan paham yang paling cocok dan ideal untuk semua orang. Oleh karena dengan memahami adanya “kesamaan derajat” diantara sesama manusia, maka kita tentu bisa lebih “proporsional” dalam hal berlaku adil ini. Kita bisa berlaku adil untuk sesama orang, dan kita juga bisa berlaku adil untuk diri kita sendiri, sebab “derajat” kita sebagai sesama manusia sesungguhnya memang sama. Mereka ini pun juga memiliki “rasa empati” terhadap sesamanya. Rasa empati yang dimiliki oleh orang dengan paham “adil berdasarkan kesamaan derajat” ini lebih bersifat proporsional juga, tidak berlebihan, sehingga mereka bisa bersikap lebih bijak, baik kepada orang lain maupun kepada dirinya sendiri.

Adil berdasarkan “hukum”:
Nah, paham yang ini beda dengan paham yang lainnya. Kalau adil berdasarkan hukum ini, kita semua sebagai warga masyarakat tentu saja mau atau tidak mau…ya harus patuh dengan bentuk keadilan semacam ini. Oleh karena, berdasarkan hukum yang berlaku di masing-masing Negara, semua orang sesungguhnya mempunyai persamaan hak dan kewajibannya, tidak dibeda-bedakan. Demikian juga aturan yang ada di dalam hukum Agama, setiap orang punya hak dan kewajiban sama. Ini sebuah prinsip hukum, meskipun di dalam pelaksanaannya tetap saja ada penyimpangan-penyimpangan yang dilakukan oleh manusia. Mengapa selalu ada penyimpangan? Jawabannya, karena kita ini juga dipengaruhi oleh berbagai paham yang lainnya, tiga paham sebelumnya tersebut. Ketiga paham tentang adil yang saya sebut sebelumnya di awal tadi, pasti juga berpengaruh terhadap pengambilan keputusan seseorang dalam menyikapi suatu keadilan.

CONTOH PELANGGARAN ETIKA BISNIS
• Pelanggaran etika bisnis terhadap hukum
Sebuah perusahaan X karena kondisi perusahaan yang pailit akhirnya memutuskan untuk
Melakukan PHK kepada karyawannya. Namun dalam melakukan PHK itu, perusahaan
sama sekali tidak memberikan pesongan sebagaimana yang diatur dalam UU No. 13/2003
tentang Ketenagakerjaan. Dalam kasus ini perusahaan x dapat dikatakan melanggar
prinsip kepatuhan terhadap hukum.

• Pelanggaran etika bisnis terhadap transparansi
Sebuah Yayasan X menyelenggarakan pendidikan setingkat SMA. Pada tahun ajaran
baru sekolah mengenakan biaya sebesar Rp 500.000,- kepada setiap siswa baru. Pungutan
sekolah ini sama sekali tidak diinformasikan kepada mereka saat akan mendaftar,
sehingga setelah diterima mau tidak mau mereka harus membayar. Disamping itu tidak
ada informasi maupun penjelasan resmi tentang penggunaan uang itu kepada wali murid.
Setelah didesak oleh banyak pihak, Yayasan baru memberikan informasi bahwa uang itu
dipergunakan untuk pembelian seragama guru. Dalam kasus ini, pihak Yayasan dan
sekolah dapat dikategorikan melanggar prinsip transparansi

• Pelanggaran etika bisnis terhadap akuntabilitas
Sebuah RS Swasta melalui pihak Pengurus mengumumkan kepada seluruh karyawan
yang akan mendaftar PNS secara otomotais dinyatakan mengundurkan diri. A sebagai
salah seorang karyawan di RS Swasta itu mengabaikan pengumuman dari pihak pengurus
karena menurut pendapatnya ia diangkat oleh Pengelola dalam hal ini direktur, sehingga
segala hak dan kewajiban dia berhubungan dengan Pengelola bukan Pengurus. Pihak
Pengelola sendiri tidak memberikan surat edaran resmi mengenai kebijakan tersebut.
Karena sikapnya itu, A akhirnya dinyatakan mengundurkan diri. Dari kasus ini RS
Swasta itu dapat dikatakan melanggar prinsip akuntabilitas karena tidak ada kejelasan
fungsi, pelaksanaan dan pertanggungjawaban antara Pengelola dan Pengurus Rumah
Sakit

• Pelanggaran etika bisnis terhadap prinsip pertanggungjawaban
Sebuah perusahaan PJTKI di Jogja melakukan rekrutmen untuk tenaga baby sitter. Dalam
pengumuman dan perjanjian dinyatakan bahwa perusahaan berjanji akan mengirimkan
calon TKI setelah 2 bulan mengikuti training dijanjikan akan dikirim ke negara-negara
tujuan. Bahkan perusahaan tersebut menjanjikan bahwa segala biaya yang dikeluarkan
pelamar akan dikembalikan jika mereka tidak jadi berangkat ke negara tujuan. B yang
terarik dengan tawaran tersebut langsung mendaftar dan mengeluarkan biaya sebanyak
Rp 7 juta untuk ongkos administrasi dan pengurusan visa dan paspor. Namun setelah 2
bulan training, B tak kunjung diberangkatkan, bahkan hingga satu tahun tidak ada
kejelasan. Ketika dikonfirmasi, perusahaan PJTKI itu selalu berkilah ada penundaan,
begitu seterusnya. Dari kasus ini dapat disimpulkan bahwa Perusahaan PJTKI tersebut
telah melanggar prinsip pertanggungjawaban dengan mengabaikan hak-hak B sebagai
calon TKI yang seharusnya diberangnka ke negara tujuan untuk bekerja.

• Pelanggaran etika bisnis terhadap prinsip kewajaran
Sebuah perusahaan property ternama di Yogjakarta tidak memberikan surat ijin
membangun rumah dari developer kepada dua orang konsumennya di kawasan kavling
perumahan milik perusahaan tersebut. Konsumen pertama sudah memenuhi
kewajibannya membayar harga tanah sesuai kesepakatan dan biaya administrasi lainnya.
Sementara konsumen kedua masih mempunyai kewajiban membayar kelebihan tanah,
karena setiap kali akan membayar pihak developer selalu menolak dengan alasan belum
ada ijin dari pusat perusahaan (pusatnya di Jakarta). Yang aneh adalah di kawasan
kavling itu hanya dua orang ini yang belum mengantongi izin pembangunan rumah,
sementara 30 konsumen lainnya sudah diberi izin dan rumah mereka sudah dibangun
semuannya. Alasan yang dikemukakan perusahaan itu adalah ingin memberikan pelajaran
kepada dua konsumen tadi karena dua orang ini telah memprovokasi konsumen lainnya
untuk melakukan penuntutan segera pemberian izin pembangunan rumah. Dari kasus ini
perusahaan property tersebut telah melanggar prinsip kewajaran (fairness) karena tidak
memenuhi hak-hak stakeholder (konsumen) dengan alasan yang tidak masuk akal.

• Pelanggaran etika bisnis terhadap prinsip kejujuran
Sebuah perusahaan pengembang di Sleman membuat kesepakatan dengan sebuah
perusahaan kontraktor untuk membangun sebuah perumahan. Sesuai dengan kesepakatan
pihak pengembang memberikan spesifikasi bangunan kepada kontraktor. Namun dalam
pelaksanaannya, perusahaan kontraktor melakukan penurunan kualitas spesifikasi
bangunan tanpa sepengetahuan perusahaan pengembang. Selang beberapa bulan kondisi
bangunan sudah mengalami kerusakan serius. Dalam kasus ini pihak perusahaan
kontraktor dapat dikatakan telah melanggar prinsip kejujuran karena tidak memenuhi
spesifikasi bangunan yang telah disepakati bersama dengan perusahaan pengembang

• Pelanggaran etika bisnis terhadap prinsip empati
Seorang nasabah, sebut saja X, dari perusahaan pembiayaan terlambat membayar
angsuran mobil sesuai tanggal jatuh tempo karena anaknya sakit parah. X sudah
memberitahukan kepada pihak perusahaan tentang keterlambatannya membayar
angsuran, namun tidak mendapatkan respon dari perusahaan. Beberapa minggu setelah
jatuh tempo pihak perusahaan langsung mendatangi X untuk menagih angsuran dan
mengancam akan mengambil mobil yang masih diangsur itu. Pihak perusahaan menagih
dengan cara yang tidak sopan dan melakukan tekanan psikologis kepada nasabah. Dalam
kasus ini kita dapat mengakategorikan pihak perusahaan telah melakukan pelanggaran
prinsip empati pada nasabah karena sebenarnya pihak perusahaan dapat memberikan
peringatan kepada nasabah itu dengan cara yang bijak dan tepat.
Share this article :

Posting Komentar

 
Company Info | Contact Us | Privacy policy | Term of use | Widget | Advertise with Us | Site map
Copyright © 2011. tulisann tugas . All Rights Reserved.
Design Template by panjz-online | Support by creating website | Powered by Blogger